Kota Malang | Setiap 22 Oktober masyarakat Indonesia memperingati hari santri nasional. Semarak hari santri tidak hanya disambut meriah oleh para santri, tetapi juga masyarakat umum di seluruh Indonesia. Mulai dari lembaga-lembaga pendidikan hingga intansi pemerintahan tidak absen ikut menyemarakkan dengan melakukan upacara bendara dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Peringatan hari santri nasional menjadi momentum kita mengingat kembali perjuangan umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Di bawah komando para ulama dan kiai, para santri bersama masyarakat semenjak pra kemerdekaan berjuang bersama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Puncaknya ketika diserukannya resolusi jihad yang dipelopori oleh Nahdatul Ulama di bawah kepemimpinan Kiai Haji Hasyim Asyari pada 22 Oktober 1945.
Dijadikannya peristiwa tersebut sebagai momentum hari santri nasional merupakan sebuah penghargaan terhadap perjuangan umat Islam yang dimotori para ulama dan santri. Namun, hendaknya dengan penghargaan tersebut tidak menjadikan santri hari ini terjebak pada romantika perjuangan masa lalu. Terdapat beban besar yang harus ditanggung ke depannya. Para santri memiliki tanggung jawab besar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia di masa depan.
Pada bulan Agustus yang lalu penulis (Rido) Sempat berjumpa dengan Gus Thoriq, sapaan akrab Kiai Haji Thoriq Bin Ziyad, yang merupakan penggagas adanya hari santri nasional, dalam sebuah forum diskusi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Universitas Islam Negeri Malang (UIN Malang) dan Institut Agama Islam Al-Qolam Malang di Singosari, kabupaten Malang. Dalam forum tersebut, Gus Thoriq menjelaskan bahwa urgensi dari gagasan memperingati hari santri adalah untuk merawat ingatan anak bangsa akan perjuangan kemerdekaan bangsanya.
Alumni UIN Malang dan juga kader GMNI tersebut menegaskan bahwa sikap nasionalisme harus senantiasa diperjuangkan dan dipegang teguh oleh seorang santri dalam kehidupannya. Tidak boleh ada dikotomi antara semangat keislaman dan nasionalisme Indonesia. Tidak boleh ada sekat yang membatasi nasionalisme dan agama. Bahkan jika dikaji lebih dalam, seorang nasionalis sejati adalah seorang agamis sejati. Seorang agamis sejati, tidak meragukan Nasionalisme sebagai jati diri.
Lantas bagaimana sikap kita sebagai penerus perjuangan kita dalam menjaga dan mempertahankan kemerdekaan tersebut dalam kontkes kekinian ? Momentum hari santri ini hendaklah menjadi titik berangkat dan merefleksikan diri sejauh mana kiprah kita dalam merawat Indonesia.
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan adalah perjuangan seumur hidup. Sebagaimana seorang santri, sekali santri tetap santri. Maka sepanjang hayat seorang santri memiliki kewajiban mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Hidup santri! tetaplah istiqamah dalam jalan perjuangan sebagai bangsa Indonesia sejati !
Penulis : Ridho Akbar
{Red/Adiant}